Saturday, June 26, 2010

Elina Shakila - Part 4

“Jimi…!”

Tersentak aku dari lamunan. Lantang suara Lina memanggilku. Aku toleh ke dalam. Lina dah siap mandi dan hanya memakai t-shirt aku. Macam dah bersiap nak tidur jer.

Aku perhatikan Lina. She’s radiant. Dengan rambut yang masih basah dan terurai dan wajah yang segar selepas mandi, memang wanita ini cukup menawan. Kakinya yang slender, peha yang licin dan halus, perut yang cukup flat, payudara yang sempurna bentuknya (34B, itu yang dia nyatakan padaku), lehernya yang jinjang...arhh..segalanya perfect pada diri Lina.

Aku buang putung rokok yang aku rasa adalah yang ke 5 semenjak aku berdiri sendirian setelah Lina merajuk tadi. Aku melangkah masuk dan sengaja aku biarkan sliding door ke balcony tu terbuka. Aku ingin hembusan bayu menjadi okestra untuk malam ini.

“Sit down sweetie... ” aku pelawa Lina supaya duduk di atas sofa. Lina duduk dan aku ke dressing table untuk mengambil sikat. Aku hampiri Lina dari belakang lalu ku sikat rambutnya. Rambut yang panjang mengurai yang telah acapkali menyerap peluh di dahinya apabila aku dan Lina bergelumang di dalam gelutan asmara yang hebat. Rambut yang ku belai selalu. Mungkin malam ini untuk kali yang terakhirnya.

“So, whaddaya think of it?” Lina bertanya pendapat aku tentang lagu yang sedang berkumandang di Channel MTV.

“its quite good, I love it, you know that, kinda remind me of you and I…” aku membalas.

Sebenarnya, aku dah lama tak mengikuti peredaran music genre baru ni. Aku masih dengan original Rock. Bagi aku Deep Purple dan Pink Floyd adalah segalanya tentang muzik. Lagu-lagu atau band-band lain adalah tidak penting, insignificant! Apatah lagi boybands, lagi la tak ujud dalam kamu muzik aku. Bukan muzik, hanya bunyian bising yang menyemakkan telinga aku.

Namun, semenjak dengan Lina, dia mula mengajar aku dengan new age music. Linkin Park, Hooberstank, Maroon 5, Silverchair dan bermacam-macam lagi. Ada yang boleh aku layan dan ada juga aku anggap rubbish! Banyak kali juga kami bertelagah pasal seni dan music.

“urm, for your info, kalau u haven’t notice la, I’m not your son tau…” gurau Lina.

“yer la, I tau…but the lines that goes – you can be my someone, you can be my scene, you know I will protect your from all of the obscene – really touched me deep. You are my scene, Lina, and you are my someone. I will protect you no matter what. You are the only one I care about right now…” aku terus menggeselkan bibirku ke tengkuk Lina dan aku cium tengkuknya, halus dan perlahan.

“uhhh…” Lina mendesah, setiap kali ciumanku singgah.

Aku terus menyisir rambutnya.

“thanks Jimi, everytime I’m with you, I feel so alive…and…I…” Lina terdiam seketika, tidak meneruskan kata-katanya. Aku terus menyisir rambutnya dengan perlahan, tersusun rapi sekarang dan aku rasa macam hairstylist di Sungei Wang jer.

“go on…say it…I want to hear it…” ujarku perlahan. Memang aku teringin mendengarnya. Selama aku dengan Lina, tak pernah sekalipun dia mengucapkan “I love you” kepadaku. Ianya menjadi misteri padaku. Kenapa Lina tak tergamak mengucapkan kalimah itu walhal, aku tahu, saying dia kepada aku sedalam lautan.

“Jimi, u know how I feel about you…you know me so well, even better than Joie knows me…you are my life right now, my inspiration and you are everything to me..but...”

“…but your love is not for me, is it?” aku terus menduga hatinya sambil tanganku kini dalam genggaman Lina. Tanganku rapat ke pipi Lina dan Lina mencium tanganku itu.

“what is love, Jimi…tell me…”

“you…Lina, for me now, love is your…” dan aku terus merangkul Lina dari belakang.

Lina menoleh menghadap aku dan kami saling berpandangan. Bibir Lina rapat dan menghampiri bibirku. Aku dapat rasakan getaran diri Lina. Matanya terpejam namun tangannya memimpin pipiku dan bibirnya melabuhkan kucupan di bibirku.

Dan kedinginan malam itu tidak bisa menyejukkan kehangatan asmara antara aku dan Lina…

No comments: